MAKNA
KONOTASI YANG TERKANDUNGDALAM PEMAKAIAN BAHASA JEPANG
Ningtyas
Afifah
FPBS
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak:Masyarakat
jepang hidup dalam keharmonisan dan kerukunan antarsesama dan semua itu bisa
terjadi karena masyarakat jepang menjaga tutur kata dalam berbahasa, menjaga
tindakan agar tidak ada yang merasa dirugikan. Seringkali apa yang mereka
ucapkan bukan apa yang ada di hati mereka, seringkali mereka menggunakan bahasa
yang sulit dimengerti—yang mengandung makna konotasi. Bahasa yang mereka
gunakan sangat halus sehingga yang menjadi lawan bicara haruslah mengerti apa
yang sebenernya mereka maksudkan. Bagi masyarakat jepang sendiri, mereka lebih
rela mendapat kerugian daripada orang lain yang mendapat kerugian, mereka lebih
mementingkan orang lain dibanding diri mereka sendiri. Bagi mereka
mengungkapkan sesuatu dengan bahasa yang lugas serta bermakna denotasi adalah
tidak sopan dan melanggar apa yang telah menjadi kebiasaan mereka selama ini,
bahkan itu semua menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa dilepas dari pribadi
mereka. Bahasa yang mereka gunakan sering kali mengandung keambiguitasan dan
juga tidak masuk logika tetapi ambiguitas di Jepang sering dikaitkan dengan
estetika atau keindahan bahasa.
1. PENDAHULUAN
Jepang adalah negara yang memiliki
banyak kebudayaan, adat istiadat yang dipegang kuat dari zaman nenek moyang
hingga sekarang. Salah satu adat istiadat masyarakat Jepang yaitu saling
merhomati satu sama lain, sopan santun, bertutur kata dengan baik. Maka dari
itu selama ini masyarakat Jepang hidup dalam keharmonisan dan kerukunan antar
individu, mereka sangat menghargai perasaan satu sama lain, mereka sangat
menjaga perasaan antara satu sama lain sehingga terkadang muncul ketidakjelasan
makna yang disampaikan antara satu sama lain. Terkadang ada makna ganda yang
terkandung dalam perkataan masyarakat Jepang. Maka dari itu diadakanlah
penelitian bagaimana memahami makna sesungguhnyayang dimaksud oleh masyarakat
Jepang ketika berbicara.
2. METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai adalah studi kepustakaan yaitu
dimana saya mengambil informasi dari buku-buku dan membaca secara keseluruhan
dan teliti.
3. PEMBAHASAN
Hal
yang perlu diperhatikan dalam memahami sistem pergaulan masyarakat Jepang
adalah sistem memahami perasaan orang lain dan bagaimana cara mengungkapkannya,
yang tak kalah penting adalah dengan memahami karakteristik orang orang
didalamnya. Orang jepang pada umumnya sangat sensitif terhadap segala situasi,
apa yang dilakukan, apa yang dikatakan harus mempertimbangkan keadaan
sekeliling. Mereka tidak menginginkan setiap orang merasa terancam olehnya
dalam kondisi apapun, sehingga seolah mereka akan berfikir daripada menyakiti
orang lain, lebih baik diam.Orang Jepang berupaya menutupi keinginan mereka dengan harapan
lawan bicaranya memahami apa yang dimaksud, terlalu sering dalam pengucapannya terdapat makna konotasi. Lantas bagaimana cara
kita mengetahui keinginan sebenarnya dari orang Jepang? Hal ini terus terang
tidak mudah. Namun kita dapat melihat dari beberapa indikasi, seperti pilihan
kalimat atau ekspresi tubuh mereka. Biasanya orang Jepang akan mengatakan
“chotto”, “demo”, “kangaete-okune”, dan beberapa kata lainnya, yang kalau diartikan
dalam bahasa Indonesia, seperti “enggh”, “Namun demikian” atau kalimat berputar
lainnya.
Kita juga harus mampu membaca arti kata “Ya” yang dikatakan oleh
orang Jepang. “ii desu yo”, arti literalnya adalah “Ya” atau “Baik”. Tapi dari
pengucapan dan bahasa tubuh mereka, kita bisa mengetahui apakah “ii desu yo”
itu maknanya “Ya” atau “Tidak”.
Alasan
mengapa seringkali terdapat makna konotasi dalam pemakaian bahasa jepang adalah
karena makna konotasi sangat berfungsi untuk menjaga satu sama lain—masyarakat
jepang sangat waspada dalam menjaga atmosfer lingkungan mereka agar tetap
harmonis, masyarakat jepang menggunakan konsep aimai dalam komunikasi
sehari-hari dengan semua orang yang ada dilingkungan mereka, masyarakat jepang
lebih memperhatikan tentang reputasi mereka dan apa yang orang lain pikirkan
tentang mereka terutama dalam kelompok, masyarakat jepang sering merasa tidak
nyaman untuk menunjukkan ketidaksetujuan secara terbuka, karena opini/ pendapat
seseorang tidak dapat dipisahkan dari pribadi mereka, ambiguitas sangat penting
dijepang dalam menjaga keharmonisan dalam lingkungan rumah, sekolah dan tempat
kerja.
4. PENUTUP
Bagi
orang Jepang keterbukaan tidak akan dapat diungkapkan secara terang-teragan
karena harus selalu mempertimbangkan keadaan orang lainatau teman bicara, tapi
hal ini bukan berarti tidak jujur, melainkan karena harus memahami perasaan
orang lain agar tidak merasa tersinggung. Budaya tak bisa berkata “tidak” menjadi
rintangan terbesar dalam berkomunikasi dengan orang Jepang. Di satu sisi, orang
Jepang memang perlu untuk lebih terbuka dalam menyampaikan sikap penolakan
mereka. Tapi di sisi lain, kita juga dituntut untuk dapat memahami budaya dan
kultur orang lain yang berbeda dengan kita, termasuk budaya “ambigu” dari orang
Jepang—walau terlalu banyak makna konotasi
yang sulit diterjemahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Gina, Dita.,
dkk. (2014). Makalah Bunka “Honne to
Tatemae”. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI
Junaengsih,
Juju., dkk, (2014). Shokyu Dokkai. Bandung:
Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI
Meilina, Linna.,
dkk. (2014). Shokyu Kaiwa. Bandung: Jurusan
Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI
Murwani, Sri.,
dkk. (2009). Buku Pelajaran Bahasa Jepang
“Sakura”. Jakarta: The Japan Foundation.
Rizki, Alfi.,
dkk. (2014). Makalah Bunka “Aimaisa”. Bandung:
Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI
Sumber internet:
Octaviani, Yesika. (2013). Aimai.http://vespiqueenlee.blogspot.com/2013/05/aimai.html,
4 Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar