Senin, 05 Januari 2015

MAKNA KONOTASI YANG TERKANDUNGDALAM PEMAKAIAN BAHASA JEPANG



MAKNA KONOTASI YANG TERKANDUNGDALAM PEMAKAIAN BAHASA JEPANG

Ningtyas Afifah
FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak:Masyarakat jepang hidup dalam keharmonisan dan kerukunan antarsesama dan semua itu bisa terjadi karena masyarakat jepang menjaga tutur kata dalam berbahasa, menjaga tindakan agar tidak ada yang merasa dirugikan. Seringkali apa yang mereka ucapkan bukan apa yang ada di hati mereka, seringkali mereka menggunakan bahasa yang sulit dimengerti—yang mengandung makna konotasi. Bahasa yang mereka gunakan sangat halus sehingga yang menjadi lawan bicara haruslah mengerti apa yang sebenernya mereka maksudkan. Bagi masyarakat jepang sendiri, mereka lebih rela mendapat kerugian daripada orang lain yang mendapat kerugian, mereka lebih mementingkan orang lain dibanding diri mereka sendiri. Bagi mereka mengungkapkan sesuatu dengan bahasa yang lugas serta bermakna denotasi adalah tidak sopan dan melanggar apa yang telah menjadi kebiasaan mereka selama ini, bahkan itu semua menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa dilepas dari pribadi mereka. Bahasa yang mereka gunakan sering kali mengandung keambiguitasan dan juga tidak masuk logika tetapi ambiguitas di Jepang sering dikaitkan dengan estetika atau keindahan bahasa.

1. PENDAHULUAN
Jepang adalah negara yang memiliki banyak kebudayaan, adat istiadat yang dipegang kuat dari zaman nenek moyang hingga sekarang. Salah satu adat istiadat masyarakat Jepang yaitu saling merhomati satu sama lain, sopan santun, bertutur kata dengan baik. Maka dari itu selama ini masyarakat Jepang hidup dalam keharmonisan dan kerukunan antar individu, mereka sangat menghargai perasaan satu sama lain, mereka sangat menjaga perasaan antara satu sama lain sehingga terkadang muncul ketidakjelasan makna yang disampaikan antara satu sama lain. Terkadang ada makna ganda yang terkandung dalam perkataan masyarakat Jepang. Maka dari itu diadakanlah penelitian bagaimana memahami makna sesungguhnyayang dimaksud oleh masyarakat Jepang ketika berbicara.

2.   METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai adalah studi kepustakaan yaitu dimana saya mengambil informasi dari buku-buku dan membaca secara keseluruhan dan teliti.

3.         PEMBAHASAN

Hal yang perlu diperhatikan dalam memahami sistem pergaulan masyarakat Jepang adalah sistem memahami perasaan orang lain dan bagaimana cara mengungkapkannya, yang tak kalah penting adalah dengan memahami karakteristik orang orang didalamnya. Orang jepang pada umumnya sangat sensitif terhadap segala situasi, apa yang dilakukan, apa yang dikatakan harus mempertimbangkan keadaan sekeliling. Mereka tidak menginginkan setiap orang merasa terancam olehnya dalam kondisi apapun, sehingga seolah mereka akan berfikir daripada menyakiti orang lain, lebih baik diam.Orang Jepang berupaya menutupi keinginan mereka dengan harapan lawan bicaranya memahami apa yang dimaksud, terlalu sering dalam pengucapannya terdapat makna konotasi. Lantas bagaimana cara kita mengetahui keinginan sebenarnya dari orang Jepang? Hal ini terus terang tidak mudah. Namun kita dapat melihat dari beberapa indikasi, seperti pilihan kalimat atau ekspresi tubuh mereka. Biasanya orang Jepang akan mengatakan “chotto”, “demo”, “kangaete-okune”, dan beberapa kata lainnya, yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, seperti “enggh”, “Namun demikian” atau kalimat berputar lainnya.
Kita juga harus mampu membaca arti kata “Ya” yang dikatakan oleh orang Jepang. “ii desu yo”, arti literalnya adalah “Ya” atau “Baik”. Tapi dari pengucapan dan bahasa tubuh mereka, kita bisa mengetahui apakah “ii desu yo” itu maknanya “Ya” atau “Tidak”.
Alasan mengapa seringkali terdapat makna konotasi dalam pemakaian bahasa jepang adalah karena makna konotasi sangat berfungsi untuk menjaga satu sama lain—masyarakat jepang sangat waspada dalam menjaga atmosfer lingkungan mereka agar tetap harmonis, masyarakat jepang menggunakan konsep aimai dalam komunikasi sehari-hari dengan semua orang yang ada dilingkungan mereka, masyarakat jepang lebih memperhatikan tentang reputasi mereka dan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka terutama dalam kelompok, masyarakat jepang sering merasa tidak nyaman untuk menunjukkan ketidaksetujuan secara terbuka, karena opini/ pendapat seseorang tidak dapat dipisahkan dari pribadi mereka, ambiguitas sangat penting dijepang dalam menjaga keharmonisan dalam lingkungan rumah, sekolah dan tempat kerja.




4.         PENUTUP
Bagi orang Jepang keterbukaan tidak akan dapat diungkapkan secara terang-teragan karena harus selalu mempertimbangkan keadaan orang lainatau teman bicara, tapi hal ini bukan berarti tidak jujur, melainkan karena harus memahami perasaan orang lain agar tidak merasa tersinggung. Budaya tak bisa berkata “tidak” menjadi rintangan terbesar dalam berkomunikasi dengan orang Jepang. Di satu sisi, orang Jepang memang perlu untuk lebih terbuka dalam menyampaikan sikap penolakan mereka. Tapi di sisi lain, kita juga dituntut untuk dapat memahami budaya dan kultur orang lain yang berbeda dengan kita, termasuk budaya “ambigu” dari orang Jepang—walau terlalu banyak makna konotasi yang sulit diterjemahkan.












DAFTAR PUSTAKA           
Gina, Dita., dkk. (2014). Makalah Bunka “Honne to Tatemae”. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI
Junaengsih, Juju., dkk, (2014). Shokyu Dokkai. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI
Meilina, Linna., dkk. (2014). Shokyu Kaiwa. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI
Murwani, Sri., dkk. (2009). Buku Pelajaran Bahasa Jepang “Sakura”. Jakarta: The Japan Foundation.
Rizki, Alfi., dkk. (2014). Makalah Bunka “Aimaisa”. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI

Sumber internet:
Octaviani, Yesika. (2013). Aimai.http://vespiqueenlee.blogspot.com/2013/05/aimai.html, 4 Januari 2015.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar