Senin, 05 Januari 2015

PENGGUNAAN BAHASA FORMAL DALAM BAHASA JEPANG oleh Yunia Alifah

PENGGUNAAN BAHASA FORMAL DALAM BAHASA JEPANG

Yunia Alifah

Pendidikan Bahasa Jepang

1-B



Abstrak : Bahasa Jepang mempunyai tingkatan keformalan, penghormatan, kerendahan bahasa pada pengucapan yang disebut keigo (警護). Bentuk formal adalah bagian dari keigo. Orang yang mempelajari bahasa Jepang biasanya memulai dengan bentuk ~ます, dan penggunaannya dijelaskan pada bagian  ‘Kata Kerja’.

Salah satu ciri khas Bahasa Jepang adalah kecenderungan untuk menciptakan kata-kata baru dengan memperpendek dan atau menggabungkan kata-kata bahasa inggris. Ciri lain yang menarik dari Bahasa Jepang adalah perbedaan antara pengucapan antara pria dengan wanita.

Kata Kunci : Bahasa Formal, Keigo.




1. Pendahuluan



Bahasa Jepang mempunyai keunikan-keunikan yang tidak dimiliki oleh bahasa manapun di dunia. Salah satu keunikan itu yaitu bahasa hormat atau yang biasa disebut Keigo.

Di Jepang selain hanya menggunakan satu bahasa, memiliki keunikan lain dalam bahasanya tersebut, yaitu adanya ragam bahasa hormat yang tadi ada diparagraf pertama.

Bahasa hormat merupakan ungkapan untuk menghormati lawan tutur tergantung pada situasi apa dan siapa lawan tuturnya. Di dalam keigo sendiri terdapat sonkeigo, kenjougo, teneigo, dan bikago sebagai pilihan bahasa tergantung kepada siapa lawan tuturnya.



2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah deskriptif kuantita-tif yaitu mendeskripsikan bagaimana orang Jepang disana menggunakan bahasa formal kepada orang yang lebih tua umurnya diatas mereka atau yang baru saja kenal dengan mereka.

Juga dalam penelitian ini digunakan metode pustaka dengan mengumpulkan bahan dan data dari Internet yang kemudian diklasifikasikan sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

3.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian ditemukan 149 keigo, 27 dari jenis  sonkeigo, 5 dari jenikenjouggo,  dan 113 dari jenis teneigo. Sedangkan peran yang muncul dari keigo tersebut adalah menyatakan penghormatan, menjaga jarak, dan menyatakan kasih sayang guru kepada murid.

3.2 Pembahasan



Dalam bahasa Jepang terdapat ragam bahasa hormat yang terkadang harus diucapkan pada saat berbicara dengan orang yang derajatnya lebih tua atau sederajat. Dalam etika pergaulan orang Jepang, merendahkan diri umumnya dipakai pada bahasa maupun perilaku sehari-hari. Tetapi, merendahkan diri dengan bahasa dan perilaku bukan berarti membuat diri kita rendah dihadapan lawan bicara, justru lawan bicara akan memandang kita sebagai orang yang sopan dan ber-etika.

Bahasa hormat di Jepang lebih dikenal dengan sebutan Keigo (警護). Fujii Shigetoshi dalam sebuah tulisannya menjelaskan bahwa keigo adalah ungkapan-ungkapan yang diucapkan untuk menyatakan ‘penghormatan-penghinaan, keakraban-kerenggangan’ berdasarkan hubungan manusia dengan lawan bicara atau orang yang dibicarakan (Shigetoshi dalam Chiaki, 1988 : 138). Dengan demikian keigo dapat dikatakan sebagai bahasa yang menunjukkan keputusan atau pertimbangan orang pertama mengenai hubungan kedudukan atau status, kekuatan atau kekuasaan, penghormatan dan ketidakhormatan, serta keakraban dan ketidakakraban antara pembicara, lawan bicara, dan orang yang dibicarakan termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengannya

Keigo dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sonkeigo (尊敬語 / Honourific Language )

Sonkeigo merupakan pembentukan kata khusus yang berfungsi untuk memberikan rasa hormat ketika berbicara dengan lawan bicara yang lebih tua. Lebih jelas lagi Oishi Shotaro (1985 : 25) menjelaskan bahwa sonkeigo adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan.

Contohnya: 食べる / 飲む menjadi 召し上がる (Makan / Minum)

2. Kenjoogo (謙譲語 / Humble, Modest, Deferential Language)

Kenjoogo digunakan pada saat menghormati lawan bicara dengan merendahkan diri sendiri. Di pihak lain Oishi Shotaro (1985 : 27) mengartikan kenjoogo sebagai keigo yang menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan, aktiftas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya.

Contohnya: 会う menjadi お目にかかる (Bertemu)

3. Teineigo (丁寧語 / Polite Language )



Teineigo adalah cara bertutur kata dengan sopan santun yang dipakai oleh pembicara dengan saling menghormati atau menghargai perasaan masing-masing (Masao, 1985 : 131). Oishi Shotaro (1985 : 28) menyebut teineigo dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara). Pemakaian teichoogo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau menurunkan derajat orang yang dibicarakan.

Contohnya: 言う menjadi 言います (Berkata)

Dengan melihat beberapa penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa di antara ketiga macam keigo tersebut terdapat persamaan dan perbedaannya. Persamaannya dapat dilihat dari prinsip pemakaian keigo yang tidak terlepas dari pertimbangan siapa pembicara, lawan bicara, dan orang yang dibicarakan. Baik sonkeigo , kenjoogo, maupun teineigo dipakai untuk menghaluskan kata-kata yang dipakai untuk menghormati lawan bicara atau orang yang dibicaakan. Sedangkan perbedaannya terletak pada cara pengungkapannya. Sonkeigo dipakai dengan cara menaikkan derajat lawan bicara atau orang yang dibicarakan, kenjoogo dipakai dengan cara merendahkan derajat pembicara, sedangkan teineigo dipakai tidak dengan cara menaikkan atau menurunkan pembicara, lawan bicara, atau orang yang dibicarakan.



Ø Fungsi dari Keigo sendiri antara lain:

1. Menyatakan perasaan hormat pada lawan bicara.

2. Menjaga jarak yang tepat terhadap lawan bicara.

3. Menunjukkan wibawa dan kesopanan pada penggunanya.

4. Sebagai adat sopan-santun dalam hidup bermasyarakat di Jepang.

5. Sebagai alat komunikasi untuk melancarkan penyampaian maksud dengan

    sopan.



Pemakaian bahasa hormat di Jepang

Bahasa akan terus berkembang mengikuti budaya yang terdapat pada masyarakat. Begitupula dengan bahasa hormat yang terdapat di Jepang. Bahasa tersebut terus berkembang, atau bias bergeser karena budaya yang berubah dari zaman ke zaman.

Zaman Sebelum Meiji

Pada masyarakat Jepang sebelum zaman Meiji terlihat pembagian masyarakat ke dalam empat golongan yakni (secara berurutan dari golongan atas ke golongan bawah) golongan shi ( bushi武士 = samurai), noo ( noomin 農民 = petani), koo ( koojin 工人 = pengrajin atau pekerja), dan shoo ( shoonin 商人 = pedagang). Stratifikasi sosia semacam ini tercerminkan juga di dalam pemakaian bahasa pada masa itu. Harumi Tanaka memberikan contoh, misalnya kaum samurai kelas atas akan mengucapkan ‘Ikinasai’ (Pergilah !), namun kaum petani akan mengucapkan ‘ Ikinahai ’, ‘ Ikinai ’, atau ‘ Ikinaharii’ untuk menunjukkan makna yang sama (Tanaka, 1997 : 37).

Zaman Meiji Hingga Modern

Sejalan dengan perkembangan zaman di mana sejak zaman Meiji penggolongan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat berdasarkan kekuasaan seperti shi -noo -koo- shoo ini tidak tampak lagi, maka perbedaan bahasa berdasarkan stratifikasi sosial seperti ini pun tidak kelihatan dalam bahasa Jepang modern.

Pada anak muda saat ini, banyak dari mereka menggunakan teineigo sebagai keigo dalam keseharian mereka. Karena sonkeigo dan juga kenjoogo sudah jarang sekali dipakai pada masyarakat Jepang saat ini. Bahkan remaja di Jepang ada yang tidak tahu seperti apa sonkeigo dan kenjoogo. Walaupun demikian, dalam bahasa Jepang modern kita masih melihat perbedaan bahasa berdasarkan status penuturnya. Oleh karena itu, muncul parameter penggunaan keigo , yaitu:

· Usia: Tua dengan muda, senior dengan yunior. Hubungan antara senior ( senpai ) dengan yunior ( kohai ) yang begitu ketat dapat diamati dalam lingkungan kehidupan anak-anak sekolah atau mahasiswa. Terhadap teman sekelasnya, seorang siswa akan menggunakan ragam akrab karena mereka sudah saling mengenal dan kenyataannya mereka ada dalam satu tingkatan yang sama. Tetapi siswa yang lebih dulu, walau hanya satu tahun di atas mereka, akan dianggap jauh lebih senior. Tidak hanya dalam tingkatan kelas, hubungan senior-yunior di antara (maha)siswa secara mencolok dapat dilihat juga dalam perkumpulan-perkumpulan olah raga, kesenian, atau kegiatan lainnya yang ada di suatu lembaga pendidikan. Siswa yang masuk lebih dulu pada suatu perkumpulan secara absolut akan dinggap superior dan akan dihormati serta dipatuhi oleh semua yuniornya. Sebagai konsekuensinya, senior harus mengajar, mendidik, melindungi, dan membimbing yuniornya dengan baik sebagaimana seorang kakak bahkan orang tua.

· Hubungan atasan-bawahan yang sangat ketat ini berakibat pada pemakaian bahasa di mana yunior akan memakai bahasa hormat terhadap seniornya, sedangkan senior akan memakai bahasa tidak hormat terhadap yuniornya. Hubungan semacam ini tidak terbatas pada dunia persekolahan, tetapi dapat diamati juga dalam organisasi-organisasi lainnya.

· Status: Atasan dengan bawahan, guru dengan murid. Hubungan atasan-bawahan serupa terlihat juga di tempat-tempat kerja. Walaupun seorang pekerja menggunakan ragam akrab terhadap rekan kerja seangkatannya, namun ia akan menggunakan ragam hormat terhadap pimpinannya. Sedangkan pimpinan pada umumnya menggunakan ragam yang sebaliknya terhadap para pegawainya. Persoalannya akan menjadi rumit apabila usia pimpinan lebih muda daripada bawahannya. Dalam kasus semacam ini ada keunikan dalam pemakaian bahasa yang digunakan pimpinan tersebut. Ia akan menggunakan ragam biasa (tidak hormat) pada hubungan impersonal dan akan menggunakan ragam hormat dalam hubungan personal seperti pada saat berbincang- bincang secara pribadi di luar lingkungan tempat kerja.

· Jenis kelamin: Pria dengan wanita (wanita lebih banyak menggunakan bahasa hormat).

· Keakrapan : Orang dalam atau orang luar

· Pribadi atau umum : Rapat dan upacara

· Pendidikan : Berpendidikan atau tidak

Pemakaian Keigo tampak sangat mencolok dalam pemakaian bahasa Jepang seharihari. Hal ini menjadi satu ciri khas kekayaan bahasa Jepang.

Sebagai contoh untuk menyatakan “makan” ada beberapa kata yang digunakan seperti pada kalimat berikut :

1. Osaki ni gohan o itadakimashita

 (Saya sudah makan)

2. Douzo gohan o agatte irasshatte kudasai

 (Silahkan makan)

3. Nani o meshiagarimasuka

 (Mau makan apa?)

Di dalam bahasa Indonesia kata “makan”dipakai dalam situasi apapun, di mana pun, kapan pun, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara, siapa lawan bicara, atau siapa orang yang dibicarakan. Tetapi dalam bahasa Jepang tidaklah demikian. Dalam bahasa Jepang terdapat beberapa kata untuk menyatakan suatu perbuatan berdasarkan perbedaan situasi, teman berbicara, dan orang-orang yang dibicarakan. Sehingga hanya untuk kata yang menunjukkan aktifitas “makan” dapat dipakai beberapa verba seperti taberu, itadaku dan meshiagaru.

Contoh lain misalnya dalam pemakaian pronomina persona. Untuk pronomina persona pertama tunggal saja terdapat beberapa kata seperti contoh berikut :

1. Watakushi wa Indonesia jin de gozaimasu

(Saya orang Indonesia)

2. Watashi no kodomo wa ima nihon de nihongo o benkyou shitte imasu

(Anak saya sekarang sedang belajar bahasa Jepang di Jepang)

3. Boku wa kankoku kara kita ryugakusei desu

(Saya mahasiswa asing yang datang dari Korea utara)

4. Ore wa mada asameshi tabenai

(Saya belum makan pagi)



Menurut Azuma Shooji, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pemakaian ragam standar hormat oleh penutur wanita.

§ Kemungkinan pertama dikarenakan wanita lebih sensitif daripada pria dalam status atau kelas sosial, dan ada anggapan dengan menggunakan bahasa standar yang memiliki kedudukan tinggi secara sosial maka status dirinya pun akan naik pada tingkat yang lebih tinggi.

§ Kemungkinan kedua dikarenakan ada tekanan atau harapan dari masyarakat agar wanita menggunakan bahasa standar. Artinya, pada umumnya masyarakat Jepang lebih mengharapkan perilaku yang tepat, sempurna, dan teratur dari kaum wanita daripada kaum pria. Dan ada kecenderungan bahwa anak pria yang bertingkah laku kasar akan dimaklumi oleh masyarakat, sedangkan apabila anak wanita berbuat kasar atau serampangan maka masyarakat idak memakluminya.

§ Kemungkinan ketiga dikarenakan secara social wanita kelihatannya ada pada posisi yang lebih rendah daripada pria. Untuk menjaga statusnya dan untuk menjaga perasaan lawan bicara maka ia bersikap hormat terhadap lawan bicara (pria)- nya dan menggunakan bahasa standar.

§ Kemungkinan keempat dikarenakan bahasa nonstandar merupakan simbol maskulinitas yang menunjukkan kejantanan, kekuatan, atau kekerasan penuturnya. Oleh sebab itu biasanya wanita menghindari pemakaian bahasa seperti itu dan mereka banyak memakai bahasa standar (Shooji, 1997 : 89-90). Keakraban: Orang dalam dengan orang luar (kepada orang luar memakai bahasa hormat).

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut.

1. Pada dasarnya Keigo adalah bahasa yang dipakai untuk menghaluskan bahasa atau bahasa yang menungkapkan rasa hormat/bahasa formal terhadap lawan bicara yang berfungsi untuk menaikkan derajat orang yang dibicarakan yang dipakai oleh orang pertama untuk menghormati orang kedua dan orang ketiga.

2. Bentuk pengembangan bahasa tersebut merupakan bentuk aktualisasi dari beberapa fungsi bahasa yang ada baik secara umum maupun secara khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Berdasarkan alasan tersebut, Keigo atau bahasa hormat yang digunakan oleh semua umur di Jepang merupakan bentuk kreatifitas yang memperkaya keanekaragaman bahasa dengan tetap memperhatikan kedudukan dan fungsi masing-masing penggunaan ragam bahasa yang digunakan.



5. Saran

Dari materi di atas dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.

1. Ragam  bahasa hormat (Keigo) perlu dipahami oleh pembelajar bahasa jepang untuk berkomunikasi langsung dengan orang Jepang.

2. Bahasa hormat (Keigo) juga dapat dijadikan sebagai salah satu  media dalam  mem pelajari  ragam  bahasa hormat.



6. Daftar Kepustakaan

Alwasilah, A. Chaedar, Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa, 1993



Aminuddin. 2000. Pengantar apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru



Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.



Djajasudarma, T. Fatima.1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung : PT Eresco.



Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.



Adiheri. (2010). “Gaya Bahasa”. [Online]. Tersedia : https://sukebe-jepang.blogspot.com/2010/10/gaya-bahasa-1.html?m=1  yang direkam pada 8 Oktober 2010 . [1 Januari 2015].

Chiiwonderland. (2011). “Pemakaian Keigo (Bahasa Hormat) di Jepang”. [Online]. Tersedia : https://chiiwonderland.wordpress.com/2011/05/15/pemakaian-keigo-bahasa-hormat-di-jepang/  yang direkam pada 15 Mei 2011. [1 Januari 2015].

Aryantika,Putra. (2013). “Pengertian dan Jenis-jenis Keigo”. [Online]. Tersedia : https://speedboo.blogspot.com/2013/06/pengertian-dan-jenis-jenis-keigo.html?m=1  yang direkam pada 12 Juni 2013. [1 Januari 2015].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar